Senin, 31 Maret 2014

Kritik Novel “Meretas Unggu” Karya Pipiet Senja



Kritik Novel “Meretas Unggu” Karya Pipiet Senja

Pipiet Senja, seorang penulis senior yang karyanya banyak meramaikan khasanah dunia sastra Indonesia, Menurut Zaky (2013) “Pipiet Senja telah menulis 28 novel populer, 28 buku anak, 33 novel Islami dan 23 antologi puisi bersama. Total hingga kini ada 105 buku, belum terhitung ratusan cerpen dan puluhan novel Bahasa Sunda yang bertebaran di puluhan media.”. Pipiet Senja adalah sebuah nama pena dari Etty Hadiwati. Meretas Unggu judul yang dipilih oleh Pipiet Senja memiliki makna kias, dapat dimengerti bahwa novel ini menceritaka perjalan seorang wanita sebagai seorang janda, atau lebih dikenal dengan single parent. Meretas yang berarti terputusnya atau terbukanya jahitan, disini mengandung arti jalinan kekeluargaan antara suami-istri, ungu sendiri menjadi symbol dari seorang janda.

Sebagai seorang single parent tentunya tidaklah mudah, Diah Paramesti begitulah nama tokoh dalam cerita. Seorang Ibu dengan tiga anak harus menghadapi perceraian dengan usia pernikahan yang tidaklah singkat, sehingga harus berusaha sendiri dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Cerita Meretas Ungu penuh dengan gejolak emosi. Dengan permasalahan-permasalahan yang hidup, permasalahan yang hadir di sekitar kita. Permasalahan dimulai dari seorang wanita bernama Lience Tambayong sebagai istri kedua dari Domu Siregar, yaitu suami dari Diah Paramesti, disusul dengan perceraian Diah dan Domu, usaha-usaha Diah melawan gejolak emosi kesedihan, permasalahan-permasalahan terus berdatangan, ditambah lagi cibiran beberapa tokoh karena status yang disandang Diah, seorang Janda.

Ide cerita ini ditulis oleh Pipiet Senja berdasarkan pengalaman pribadinya, yang pernah dua kali bercerai, selain itu dapat dilihat dari tokoh-tokoh yag nyata dalam ceritanya, seperti Anak Diah Paramesti dengan sapaan Butet, suami Diah seorang keturunan Batak dengan marga Siregar, serta nama tokoh Diah itu sendiri, bisa dikatakan di ambil dari namanya Hadiwati, juga beberapa tokoh lainnya. Begitu pula dengan setting tempat, yaitu berada di Bandug, Jawa Barat.

Kelebihan Novel ini, yaitu menceritakan kisah yang menjurus kepada wanita yang memang sering diangkat sebagai tokoh utama dalam sebuah karya sastra. Karena ide cerita lahir dari pengalaman penulis pribadi, tentunya cerita lebih hidup dan memiliki karakter yang kuat maka siapa pun yang membacanya akan memperoleh pengalaman yang bernilai. Cerita yang dikemas dengan bahasa dan kisah-kisah yang menyentuh oleh penulis bukan hanya cerita cengeng, akan tetapi penuh imajinatif dengan hadirnya tokoh-tokoh baru, serta situasi dan kondisi yang berbeda. Disini juga memberikan rasa penasaran bagi pembaca untuk terus membaca bab berikutnya hingga selesai.

Jambi, 25 Mei 2013 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar