Kritik Novel “Meretas Unggu” Karya Pipiet Senja
Pipiet Senja, seorang penulis senior yang karyanya banyak
meramaikan khasanah dunia sastra Indonesia, Menurut Zaky (2013) “Pipiet Senja
telah menulis 28 novel populer, 28 buku anak, 33 novel Islami dan 23 antologi
puisi bersama. Total hingga kini ada 105 buku, belum terhitung ratusan cerpen
dan puluhan novel Bahasa Sunda yang bertebaran di puluhan media.”. Pipiet Senja
adalah sebuah nama pena dari Etty Hadiwati. Meretas Unggu judul yang dipilih
oleh Pipiet Senja memiliki makna kias, dapat dimengerti bahwa novel ini
menceritaka perjalan seorang wanita sebagai seorang janda, atau lebih dikenal
dengan single parent. Meretas
yang berarti terputusnya atau terbukanya jahitan, disini mengandung arti
jalinan kekeluargaan antara suami-istri, ungu sendiri menjadi symbol dari
seorang janda.
Sebagai seorang single parent tentunya tidaklah mudah,
Diah Paramesti begitulah nama tokoh dalam cerita. Seorang Ibu dengan tiga anak
harus menghadapi perceraian dengan usia pernikahan yang tidaklah singkat,
sehingga harus berusaha sendiri dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Cerita
Meretas Ungu penuh dengan gejolak emosi. Dengan permasalahan-permasalahan yang
hidup, permasalahan yang hadir di sekitar kita. Permasalahan dimulai dari
seorang wanita bernama Lience Tambayong sebagai istri kedua dari Domu Siregar,
yaitu suami dari Diah Paramesti, disusul dengan perceraian Diah dan Domu,
usaha-usaha Diah melawan gejolak emosi kesedihan, permasalahan-permasalahan
terus berdatangan, ditambah lagi cibiran beberapa tokoh karena status yang disandang
Diah, seorang Janda.
Ide cerita ini ditulis oleh Pipiet Senja berdasarkan
pengalaman pribadinya, yang pernah dua kali bercerai, selain itu dapat dilihat
dari tokoh-tokoh yag nyata dalam ceritanya, seperti Anak Diah Paramesti dengan
sapaan Butet, suami Diah seorang keturunan Batak dengan marga Siregar, serta
nama tokoh Diah itu sendiri, bisa dikatakan di ambil dari namanya Hadiwati,
juga beberapa tokoh lainnya. Begitu pula dengan setting tempat, yaitu berada di
Bandug, Jawa Barat.
Kelebihan Novel ini, yaitu menceritakan kisah yang
menjurus kepada wanita yang memang sering diangkat sebagai tokoh utama dalam
sebuah karya sastra. Karena ide cerita lahir dari pengalaman penulis pribadi,
tentunya cerita lebih hidup dan memiliki karakter yang kuat maka siapa pun yang
membacanya akan memperoleh pengalaman yang bernilai. Cerita yang dikemas dengan
bahasa dan kisah-kisah yang menyentuh oleh penulis bukan hanya cerita cengeng,
akan tetapi penuh imajinatif dengan hadirnya tokoh-tokoh baru, serta situasi
dan kondisi yang berbeda. Disini juga memberikan rasa penasaran bagi pembaca
untuk terus membaca bab berikutnya hingga selesai.
Jambi, 25 Mei 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar